Rabu, 02 Januari 2013

Sebuah Teather Tahun Baru

I
Ketaklukkan,pada lembaran
Tersepahamkan dipenjara kaki langit.
Tentang mimpi,
malam itu tercipta dipertemuan senja
lalu temaram dalam kodratnya.
                Samar gairahmu,melambangkan peranan
                dalam nyata ketindasan yang melahirkan benih bunga
                yang layu,dalam rasa senyuman.

Haruskah,saat pagi kuhadapi matahari
dengan tertunduk,pucat pasi?.
Dan bila malam menjelang,kupeluk rembulan
dengan sejuta penyesalan?
sampai fajar,sampailah senja
tiada jua kujumpa jawabnya.

                Langkah kaki tanpa nyawa,meninggalkan takdir
                yang dulu diagungkan.
                Kau pikir itu
                                atau
                                                kau duga
                pada paparan,tanpa darah?.
                Bukan pula dakwaan,pada cakrawala
                diperapian senja.

Ketika ketakutan,pada kelurusan  terlahir
kebutaan,sementara kau mampu pandangi matahari
selagi ubun-ubunmu terpanggang,sepenuh urat nadi.
Itukah perjalananmu menggapai matahari
ataukah hanya rima dalam syairmu
tentang purnama diakhir tahun.
                -Masih ada debu,kerikil dan onak duri yang tegar
                 berdiri menantangmu.Juga masih ada badai yang mengiringi
                 musisi jalanan,pada syairmu yang parau.

II
Masihkah ada ruang untuk kita bicara-yang tak sekedar.
Untuk mengemasi pelangi yang usang.
(jangan lupa kau puisikan angin,untuk memulas pelangi sesukamu)
                Atau masihkah,waktu tegar memapahmu
                menuju pintu maut
                yang anggun nan arif
                pada bias senja,merona di cakrawala.
                Dan melukismu,pada guratan dinyala harapan
                yang tersisa dan memudar.

Ketika aku dalam tatapan hitam dan pekat
yang gulita-terpuruk,terhempas dalam putus asa.
Mampukah kau mengemis matahari untuk setitik cahaya?
dan suntikkan di kalbuku?
Aku,pun tak lagi  berharap banyak.
                Atau masihkah,pelabuhan hati yang sudi membuka diri
                menanti singgah layar yang nista,untuk
 menjaring harapan yang hanyut di air mata.
Jua menambal pedih,saat persinggahan tak diharap.
(Badai yang merobek layarmu,mungkin terdesah lewat asap cerutu cendana dan birahi.Terpadu asap terhempas awan angkara).


III
Atau masihkah,kau semaikan hijau daun pada dahaga kegersangan.
Dan kau siramkan luh penyesalan dalam setiap pembersihannya.
                -Tentang anak haram dan dendam pelacur murahan
                  serta pemenggalan leher azazi,demi harapan nista,egoisme diri.
Menghapus semua nista,dan mengubur sang durjna dalam diri.
Rinduku,bagai menyemai  hujan di padang pasir.

                Ketika aku dalam nanar di pintu tahun
                dan rumah masa,keasingan ruh,yang kembali lahir
                untuk menuai dongeng-dongeng,serta nyanyian.
                Tentang anjing,bintang dan semua.
               
                Ingin aku memaknai awal dengan setapak tak ragu
                menulis skenarioku sendiri
                untuk sebuah teather kehidupanku sendiri.

Atau masihkah,nyalang gersang jiwa
terdalangkan bagi sang penggaru  rahayuning raga.
Nestapa,dalam keheningan jiwanya
tanpa mampu mendalangkan raganya
                -menatap dalam tangis yang kian tak berarti.
Hanya dan hanya jika,hanya angan
Mungkin,
                Esok!

Banjarnegara-Merangin, Januari 2004 s/d 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar