Ketaklukkan,pada lembaran
Tersepahamkan dipenjara kaki langit.
Tentang mimpi,
malam itu tercipta dipertemuan senja
lalu temaram dalam kodratnya.
Samar
gairahmu,melambangkan peranan
dalam
nyata ketindasan yang melahirkan benih bunga
yang
layu,dalam rasa senyuman.
Haruskah,saat pagi kuhadapi matahari
dengan tertunduk,pucat pasi?.
Dan bila malam menjelang,kupeluk rembulan
dengan sejuta penyesalan?
sampai fajar,sampailah senja
tiada jua kujumpa jawabnya.
Langkah
kaki tanpa nyawa,meninggalkan takdir
yang
dulu diagungkan.
Kau
pikir itu
atau
kau
duga
pada
paparan,tanpa darah?.
Bukan
pula dakwaan,pada cakrawala
diperapian
senja.
Ketika ketakutan,pada kelurusan terlahir
kebutaan,sementara kau mampu pandangi matahari
selagi ubun-ubunmu terpanggang,sepenuh urat nadi.
Itukah perjalananmu menggapai matahari
ataukah hanya rima dalam syairmu
tentang purnama diakhir tahun.
-Masih
ada debu,kerikil dan onak duri yang tegar
berdiri menantangmu.Juga masih ada badai yang
mengiringi
musisi jalanan,pada syairmu yang parau.
Masihkah ada ruang untuk kita bicara-yang tak sekedar.
Untuk mengemasi pelangi yang usang.
(jangan lupa kau puisikan angin,untuk memulas pelangi
sesukamu)
Atau
masihkah,waktu tegar memapahmu
menuju
pintu maut
yang
anggun nan arif
pada
bias senja,merona di cakrawala.
Dan
melukismu,pada guratan dinyala harapan
yang
tersisa dan memudar.
Ketika aku dalam tatapan hitam dan pekat
yang gulita-terpuruk,terhempas dalam putus asa.
Mampukah kau mengemis matahari untuk setitik cahaya?
dan suntikkan di kalbuku?
Aku,pun tak lagi
berharap banyak.
Atau
masihkah,pelabuhan hati yang sudi membuka diri
menanti
singgah layar yang nista,untuk
menjaring harapan yang hanyut di air mata.
Jua menambal pedih,saat
persinggahan tak diharap.
(Badai yang merobek layarmu,mungkin terdesah lewat asap
cerutu cendana dan birahi.Terpadu asap terhempas awan angkara).
Atau masihkah,kau semaikan hijau daun pada dahaga
kegersangan.
Dan kau siramkan luh penyesalan dalam setiap pembersihannya.
-Tentang
anak haram dan dendam pelacur murahan
serta pemenggalan leher azazi,demi harapan
nista,egoisme diri.
Menghapus semua nista,dan mengubur sang durjna dalam diri.
Rinduku,bagai menyemai
hujan di padang pasir.
Ketika
aku dalam nanar di pintu tahun
dan
rumah masa,keasingan ruh,yang kembali lahir
untuk
menuai dongeng-dongeng,serta nyanyian.
Tentang
anjing,bintang dan semua.
Ingin
aku memaknai awal dengan setapak tak ragu
menulis
skenarioku sendiri
untuk
sebuah teather kehidupanku sendiri.
Atau masihkah,nyalang gersang jiwa
terdalangkan bagi sang penggaru rahayuning raga.
Nestapa,dalam keheningan jiwanya
tanpa mampu mendalangkan raganya
-menatap
dalam tangis yang kian tak berarti.
Hanya dan hanya jika,hanya angan
Mungkin,
Esok!
Banjarnegara-Merangin, Januari 2004 s/d 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar